Halo Assalamu'alaykum

Minggu, 20 November 2011

Sumpah Pemuda VS Sumpah Palapa

PERBEDAAN SUMPAH PEMUDA DENGAN SUMPAH PALAPA
• Dalam bidang Ekonomi dan Sosial

Sumpah palapa dilahirkan oleh orang yang memegang kekuasaan waktu itu. Gajah Mada sebagai patih di kerajaan Majapahit memiliki perangkat untuk mewujudkannya. Ia punya senjata, pasukan dan juga dukungan dari pihak kerajaan. Maka dengan itu Gajah Mada akan lebih mudah mewujudkan idenya tadi

Berbeda dengan sumpah pemuda yang dicetuskan oleh para pemuda indonesia yang saat itu kondisinya di bawah penjajahan. Mereka tidak memegang kekuasaan. Namun dengan keberanian dan kesadaran untuk bersatu maka dicetuskanlah sumpah pemuda. Bisa dibayangkan bagaimana mereka mengatur cara pertemuan dan meyakinkan satu sama lain. Karena setiap saat Belanda siap melenyapkan nyawa mereka. Nah tentu sulit mewujudkan sumpah itu. Tetapi dengan semangat kebersamaan dan rasa bosan akan penjajahan serta atas dasar persatuan, pemuda yang berasal dari berbagai organisasi kedaerahan bersatu melaksanakan kongres pemuda. Mereka berasal dari Jong Java, Jong Batak, Jong, Celebes, Jong Sumatranen Bond, Jong Islamieten Bond, Jong Ambon, dsb serta pengamat dari pemuda tiong hoa seperti Kwee Thiam Hong, John Lauw Tjoan Hok, Oey Kay Siang dan Tjoi Djien Kwie. Maka dicetuskanlah sumpah pemuda itu dengan pengakuan kesamaan tanah air, bangsa dan Negara.

• Dalam bidang Budaya

Sumpah Palapa hanya di cetuskan oleh kerajaan yang terletak di Jawa. Dan tentunya ide sumpah pemuda itu hanya dari orang-orang Majapahit saja. Belum pada tahap yang lebih luas. Sehingga ide dasar ini muncul hanya bersifat kedaerahan. Tidak seperti ide sumpah pemuda yang lahir dari anak bangsa dari berbagai suku bangsa, daerah serta agama yang berbeda. Sehingga semangat persatuan itu benar-benar terwujud.

• Dalam bidang Politik

Penyebaran sumpah palapa dilakukan lewat kekerasan, katakanlah
dengan perang. Logikanya Gajah Mada ingin mewujudkannya dengan jalan pintas. Bagi mereka yang tunduk tidak akan diperangi tetapi yang tidak mau patuh tentu akan dihancurkan. Hal ini tertuang dari isi sumpah yang yang di bacakan patih gajah mada tahun 1331; “Lamun huwus kalah nusantara isun amukti palapa, lamun kalah ring gurun, ring seram,tanjungpura, ring haru, pahang, dompo, ring bali, sunda, palembang, tumasik, samana isun amukti palapa”. Terjemahannya lebih kurang “Apabila sudah kalah Nusantara, saya akan beristirahat, apabila Gurun telah dikalahkan, begitu pula Seram, Tanjungpura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, pada waktu itu saya akan menikmati istirahat” (Munadar, 2004:24).






Sementara sumpah pemuda disebarkan atas kesadaran untuk bangkit dan lepas dari penjajahan. Di samping juga memecahkan mitos bahwa bangsa Indonesia ini tidak akan pernah bersatu. Itulah yang ada di benak orang Belanda waktu itu. Nah, penyebaran semangat sumpah pemuda ini juga berbeda dengan sumpah palapa. Caranya mengetuk perasaan setiap rakyat untuk bersatu. Menghilangkan rasa perbedaan. Demi satu tekad untuk merdeka. Maka tentu tidak ada kekerasan yang dilakukan. Inilah yang menurut penulis, sumpah pemuda ini bisa bertahan lama.
.


REFERENSI

http://badkohmisumbar.blogspot.com/2008/11/arbi-sanit-menilai-sby-sedang-gawat.html

http://www.bpsnt-jogja.info/bpsnt/download/LKT_Sej_P-1.pdf

http://rinny-agustina.blogspot.com/2010/11/perbedaan-sumpah-pemuda-dengan-sumpah.html

Pornografi dan Pancasila

Pornografi (dari bahasa Yunani πορνογραφία pornographia — secara harafiah tulisan tentang atau gambar tentang pelacur) (kadang kala juga disingkat menjadi "porn," "pr0n," atau "porno") adalah penggambaran tubuh manusia atau perilaku seksual manusia secara terbuka (eksplisit) dengan tujuan membangkitkan birahi (gairah seksual). Pornografi berbeda dari erotika. Dapat dikatakan, pornografi adalah bentuk ekstrem/vulgar dari erotika. Erotika sendiri adalah penjabaran fisik dari konsep-konsep erotisme. Kalangan industri pornografi kerap kali menggunakan istilah erotika dengan motif eufemisme namun mengakibatkan kekacauan pemahaman di kalangan masyarakat umum.(Wikipedia)
Dari sudut pandang agama jelas pornografi itu dilarang untuk ditampilkan kepada orang lain atau umum. Karena di Agama Islam khususnya, kita diwajibkan untuk menutup aurat. Seperti dijelaskan berikut ini:
“Dan katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman: ’Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan khumur (Ind: jilbab)nya ke dadanya…’” (Annur:31)
Bagi wanita yang boleh nampak hanyalah wajah dan kedua telapak tangan, sedang kan bagi pria diwajibkan menutup auratnya yaitu dari pusar perut hingga dengkul.
Dari sudut pandang etika pun, tidak baik apabila kita menampilkan pornografi. Pornografi dapat menimbulkan suatu kejahatan misalnya pelacehan seksual atau pemerkosaan. Maka dari itu, DPR RI bersama Presiden RI memutuskan adanya penetapan undang-undang tentang pornografi.
Berikut lampirannya Undang-Undang Pornografi yang saya ambil dari http://www.lbh-apik.or.id/uu-pornografi.htm





UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 44 TAHUN 2008
TENTANG PORNOGRAFI
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa negara Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan Pancasila dengan menjunjung tinggi nilai-nilai moral, etika, akhlak mulia, dan kepribadian luhur bangsa, beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, menghormati kebinekaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta melindungi harkat dan martabat setiap warga negara;
b. bahwa pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi semakin berkembang luas di tengah masyarakat yang mengancam kehidupan dan tatanan sosial masyarakat Indonesia;
c. bahwa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pornografi yang ada saat ini belum dapat memenuhi kebutuhan hukum serta perkembangan masyarakat;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu membentuk Undang-Undang tentang Pornografi;
Mengingat :
Pasal 20 Pasal 21, Pasal 28B ayat (2), Pasal 28J ayat (2), dan Pasal 29 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Dengan Persetujuan Bersama : DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PORNOGRAFI.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.
2. Jasa pornografi adalah segala jenis layanan pornografi yang disediakan oleh orang perseorangan atau korporasi melalui pertunjukan langsung, televisi kabel, televisi teresterial, radio, telepon, internet, dan komunikasi elektronik lainnya serta surat kabar, majalah, dan barang cetakan lainnya.
3. Setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum.
4. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun.
5. Pemerintah adalah Pemerintah Pusat yang dipimpin oleh Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
6. Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
Pasal 2
Pengaturan pornografi berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa, penghormatan terhadap harkat dan martabat kemanusiaan, kebinekaan, kepastian hukum, nondiskriminasi, dan perlindungan terhadap warga negara.
Pasal 3
Undang-Undang ini bertujuan:
a. mewujudkan dan memelihara tatanan kehidupan masyarakat yang beretika, berkepribadian luhur, menjunjung tinggi nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, serta menghormati harkat dan martabat kemanusiaan;
b. menghormati, melindungi, dan melestarikan nilai seni dan budaya, adat istiadat, dan ritual keagamaan masyarakat Indonesia yang majemuk;
c. memberikan pembinaan dan pendidikan terhadap moral dan akhlak masyarakat;
d. memberikan kepastian hukum dan perlindungan bagi warga negara dari pornografi, terutama bagi anak dan perempuan; dan
e. mencegah berkembangnya pornografi dan komersialisasi seks di masyarakat.
BAB II
LARANGAN DAN PEMBATASAN
Pasal 4
(1) Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat:
a. persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang;
b. kekerasan seksual;
c. masturbasi atau onani;
d. ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan;
e. alat kelamin; atau
f. pornografi anak.
(2) Setiap orang dilarang menyediakan jasa pornografi yang:
a. menyajikan secara eksplisit ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan;
b. menyajikan secara eksplisit alat kelamin;
c. mengeksploitasi atau memamerkan aktivitas seksual; atau
d. menawarkan atau mengiklankan, baik langsung maupun tidak langsung layanan seksual.
Pasal 5
Setiap orang dilarang meminjamkan atau mengunduh pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1).
Pasal 6
Setiap orang dilarang memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), kecuali yang diberi kewenangan oleh peraturan perundang-undangan.
Pasal 7
Setiap orang dilarang mendanai atau memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.
Pasal 8
Setiap orang dilarang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek atau model yang mengandung muatan pornografi.

Pasal 9
Setiap orang dilarang menjadikan orang lain sebagai objek atau model yang mengandung muatan pornografi.
Pasal 10
Setiap orang dilarang mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukan atau di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi lainnya.
Pasal 11
Setiap orang dilarang melibatkan anak dalam kegiatan dan/atau sebagai objek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 8, Pasal 9, atau
Pasal 12
Setiap orang dilarang mengajak, membujuk, memanfaatkan, membiarkan, menyalahgunakan kekuasaan atau memaksa anak dalam menggunakan produk atau jasa pornografi.
Pasal 13
(1) Pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi yang memuat selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) wajib mendasarkan pada peraturan perundang-undangan.
(2) Pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan di tempat dan dengan cara khusus.
Pasal 14
Ketentuan mengenai syarat dan tata cara perizinan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan produk pornografi untuk tujuan dan kepentingan pendidikan dan pelayanan kesehatan dan pelaksanaan ketentuan Pasal 13 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB III
PERLINDUNGAN ANAK
Pasal 15
Setiap orang berkewajiban melindungi anak dari pengaruh pornografi dan mencegah akses anak terhadap informasi pornografi.


Pasal 16
(1) Pemerintah, lembaga sosial, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, keluarga, dan/atau masyarakat berkewajiban memberikan pembinaan, pendampingan, serta pemulihan sosial, kesehatan fisik dan mental bagi setiap anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan, pendampingan, serta pemulihan sosial, kesehatan fisik dan mental sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB IV
PENCEGAHAN
Bagian Kesatu
Peran Pemerintah
Pasal 17
Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib melakukan pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi.
Pasal 18
Untuk melakukan pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, Pemerintah berwenang:
a. melakukan pemutusan jaringan pembuatan dan penyebarluasan produk pornografi atau jasa pornografi, termasuk pemblokiran pornografi melalui internet;
b. melakukan pengawasan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi; dan
c. melakukan kerja sama dan koordinasi dengan berbagai pihak, baik dari dalam maupun dari luar negeri, dalam pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi.
Pasal 19
Untuk melakukan pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, Pemerintah Daerah berwenang:
a. melakukan pemutusan jaringan pembuatan dan penyebarluasan produk pornografi atau jasa pornografi, termasuk pemblokiran pornografi melalui internet di wilayahnya;
b. melakukan pengawasan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi di wilayahnya;
c. melakukan kerja sama dan koordinasi dengan berbagai pihak dalam pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi di wilayahnya; dan
d. mengembangkan sistem komunikasi, informasi, dan edukasi dalam rangka pencegahan pornografi di wilayahnya.
Bagian Kedua
Peran Serta Masyarakat
Pasal 20
Masyarakat dapat berperan serta dalam melakukan pencegahan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi.

Pasal 21
(1) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dapat dilakukan dengan cara:
a. melaporkan pelanggaran Undang-Undang ini;
b. melakukan gugatan perwakilan ke pengadilan;
c. melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan yang mengatur pornografi; dan
d. melakukan pembinaan kepada masyarakat terhadap bahaya dan dampak pornografi.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 22
Masyarakat yang melaporkan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf a berhak mendapat perlindungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB V
PENYIDIKAN, PENUNTUTAN, DAN PEMERIKSAAN
DI SIDANG PENGADILAN
Pasal 23
Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap pelanggaran pornografi dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.

Pasal 24
Di samping alat bukti sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana, termasuk juga alat bukti dalam perkara tindak pidana meliputi tetapi tidak terbatas pada: a. barang yang memuat tulisan atau gambar dalam bentuk cetakan atau bukan cetakan, baik elektronik, optik, maupun bentuk penyimpanan data lainnya; dan
b. data yang tersimpan dalam jaringan internet dan saluran komunikasi lainnya.

Pasal 25
(1) Untuk kepentingan penyidikan, penyidik berwenang membuka akses, memeriksa, dan membuat salinan data elektronik yang tersimpan dalam fail komputer, jaringan internet, media optik, serta bentuk penyimpanan data elektronik lainnya.
(2) Untuk kepentingan penyidikan, pemilik data, penyimpan data, atau penyedia jasa layanan elektronik berkewajiban menyerahkan dan/atau membuka data elektronik yang diminta penyidik.
(3) Pemilik data, penyimpan data, atau penyedia jasa layanan elektronik setelah menyerahkan dan/atau membuka data elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berhak menerima tanda terima penyerahan atau berita acara pembukaan data elektronik dari penyidik.
Pasal 26
Penyidik membuat berita acara tentang tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dan mengirim turunan berita acara tersebut kepada pemilik data, penyimpan data, atau penyedia jasa layanan komunikasi di tempat data tersebut didapatkan.
Pasal 27
(1) Data elektronik yang ada hubungannya dengan perkara yang sedang diperiksa dilampirkan dalam berkas perkara.
(2) Data elektronik yang ada hubungannya dengan perkara yang sedang diperiksa dapat dimusnahkan atau dihapus.
(3) Penyidik, penuntut umum, dan para pejabat pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib merahasiakan dengan sungguh-sungguh atas kekuatan sumpah jabatan, baik isi maupun informasi data elektronik yang dimusnahkan atau dihapus.
BAB VI
PEMUSNAHAN
Pasal 28
(1) Pemusnahan dilakukan terhadap produk pornografi hasil perampasan.
(2) Pemusnahan produk pornografi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh penuntut umum dengan membuat berita acara yang sekurang-kurangnya memuat:
a. nama media cetak dan/atau media elektronik yang menyebarluaskan pornografi;
b. nama, jenis, dan jumlah barang yang dimusnahkan;
c. hari, tanggal, bulan, dan tahun pemusnahan; dan
d. keterangan mengenai pemilik atau yang menguasai barang yang dimusnahkan.
BAB VII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 29
Setiap orang yang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).
Pasal 30
Setiap orang yang menyediakan jasa pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Pasal 31
Setiap orang yang meminjamkan atau mengunduh pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
Pasal 32
Setiap orang yang memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
Pasal 33
Setiap orang yang mendanai atau memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp7.500.000.000,00 (tujuh miliar lima ratus juta rupiah).
Pasal 34
Setiap orang yang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek atau model yang mengandung muatan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Pasal 35
Setiap orang yang menjadikan orang lain sebagai objek atau model yang mengandung muatan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).
Pasal 36
Setiap orang yang mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukan atau di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Pasal 37
Setiap orang yang melibatkan anak dalam kegiatan dan/atau sebagai objek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dipidana dengan pidana yang sama dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 34, Pasal 35, dan Pasal 36, ditambah 1/3 (sepertiga) dari maksimum ancaman pidananya.
Pasal 38
Setiap orang yang mengajak, membujuk, memanfaatkan, membiarkan, menyalahgunakan kekuasaan, atau memaksa anak dalam menggunakan produk atau jasa pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Pasal 39
Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36, Pasal 37, dan Pasal 38 adalah kejahatan.
Pasal 40
(1) Dalam hal tindak pidana pornografi dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya.
(2) Tindak pidana pornografi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang, baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut, baik sendiri maupun bersama-sama.
(3) Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi, korporasi tersebut diwakili oleh pengurus.
(4) Pengurus yang mewakili korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diwakili oleh orang lain.
(5) Hakim dapat memerintahkan pengurus korporasi supaya pengurus korporasi menghadap sendiri di pengadilan dan dapat pula memerintahkan pengurus korporasi supaya pengurus tersebut dibawa ke sidang pengadilan.
(6) Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, panggilan untuk menghadap dan penyerahan surat panggilan tersebut disampaikan kepada pengurus di tempat tinggal pengurus atau di tempat pengurus berkantor.
(7) Dalam hal tindak pidana pornografi yang dilakukan korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, dijatuhkan pula pidana denda terhadap korporasi dengan ketentuan maksimum pidana dikalikan 3 (tiga) dari pidana denda yang ditentukan dalam setiap pasal dalam Bab ini.
Pasal 41
Selain pidana pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (7), korporasi dapat dikenai pidana tambahan berupa: a. pembekuan izin usaha; b. pencabutan izin usaha; c. perampasan kekayaan hasil tindak pidana; dan d. pencabutan status badan hukum.
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 42
Untuk meningkatkan efektivitas pelaksanaan Undang-Undang ini, dibentuk gugus tugas antardepartemen, kementerian, dan lembaga terkait yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Presiden.
Pasal 43
Pada saat Undang-Undang ini berlaku, dalam waktu paling lama 1 (satu) bulan setiap orang yang memiliki atau menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) harus memusnahkan sendiri atau menyerahkan kepada pihak yang berwajib untuk dimusnahkan.
Pasal 44
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang mengatur atau berkaitan dengan tindak pidana pornografi dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini.
Pasal 45
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta pada tanggal 26 November 2008
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta pada tanggal 26 November 2008
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 181
Penetapan undang-undang ini ternyata mendatangkan pro dan kontra. Pro dari Institusi keagamaan dan kontra dari institusi seni terutama masalah dari budaya. Seperti yang kita ketahui bahwa pakaian adat dan tari-tarian dari beberapa provinsi di Indonesia banyak yang mempertunjukkan aurat atau menggambarkan ketelanjangan contohnya hanya mengenakan kemben dan ada juga yang hanya mengenakan koteka. Tentu para aktivis budaya dan pekerja seni protes, mereka tidak terima apabila pakaian adat tersebut harus digantikan, begitu pula para pelukis atau pemahat patung yang mungkin mereka merasa terkekang atau tidak bebas berkreasi dan berimajinasi.
Namun menurut saya tindakan pemerintah ini sangatlah bagus, karena pemikiran masyarakat Indonesia jaman sekarang ini mudah terpancing, sehingga mudah sekali untuk tergoda dan melakukan hal-hal yang tidak baik. Sehingga untuk mewujudkan Indonesia yang aman dan tentram dibutuhkan suatu aturan, yang menegaskan sehingga terciptalah suasana yang aman dan tentram. Dan untuk yang kontra sebaiknya memaklumi, karena suatu kebudayaan dan seni akan lebih baik apabila tidak mengandung unsur pornografi dan sesuai dengan aturan agama dan etika yang ada, sehingga bisa memiliki nilai plus tidak hanya di dunia tetapi juga memiliki nilai plus di mata Tuhan Yang Maha Esa. Untuk itu marilah kita bersama-sama berpikir lebih sehat dan mempertebal ketaqwaan kita agar lebih mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Keterbukaan ideologi Pancasila

Pancasila adalah ideologi yang terbuka, yang dimaksud dari keterbukaan ideologi Pacasila adalah karena pelaksanaan nilai-nilai Pancasila disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada, mengikuti perkembangan jaman. Tidak menutup kemungkinan untuk mengikuti perkembangan seperti di negara lain, akan tetapi tetap terarah sesuai dengan aturan agama dan norma-norma yang berlaku.
Saya kutip dari ‘Pokok-pokok materi Pendidikan Pancasila’ karya Moesadin Malik, IR., M.SI bahwa Pancasila sebagai suatu ideologi yang bersifat terbuka memiliki tiga dimensi, yaitu:
1. Dimensi Idealistis
Nilai-nilai dasar yang terkandung dalam Pancasila bersifat sistematis, rasional dan menyeluruh, mengandung cita-cita yang ingin dicapai dalam berbagaikehidupan bermasyarakat,berbangsa dan bernegara.
2. Dimensi Realistis
Yaitu suatu ideologi harus mampu mencerminkan realitas yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Nilai-nilai yang terkandung dalam ideologi bersumber dari nilai-nilai riil yang hidup dalam masyarakat sehingga tertanam dan berakar didalam masyarakat, terutama pada waktu ideologi itu lahir.
3. Dimensi Normatif
Yaitu nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila perlu dijabarkan dalam suatu sistem norma, sebagaimana terkandung dalam norma-norma kenegaraan. Dalam pengertian ini ideologi Pancasila agar mampu dijabarkan ke dalam langkah operasional, maka perlu norma yang jelas.



Faktor yang mendorong pemikiran mengenai keterbukaan ideologi Pancasila adalah sebagai berikut :
• Kenyataan dalam proses pembangunan nasional dan dinamika masyarakat yang berkembang secara cepat.
• Kenyataan menunjukkan, bahwa bangkrutnya ideologi yang tertutup dan beku dikarenakan cenderung meredupkan perkembangan dirinya.
• Pengalaman sejarah politik kita di masa lampau.
• Tekad untuk memperkokoh kesadaran akan nilai-nilai dasar Pancasila yang bersifat abadi dan hasrat mengembangkan secara kreatif dan dinamis dalam rangka mencapai tujuan nasional.
Lalu apakah Keterbukaan ideologi Pancasila tidak mengandung bahaya bagi kelestariannya? Menurut saya, bahaya itu pasti ada, namun kembali kepada Bangsa Indonesia sendiri. Maksud keterbukaan ideologi Pancasila disini bukanlah keterbukaan yang mengarah kepada keburukan melainkan mengarah kepada kebaikan dan kemajuan yang tetap berpegang teguh pada prinsip yang didasari atas norma agama dan norma-norma yang berlaku lainnya karena keterbukaan ideologi Pancasila ada batas-batasnya yang tidak boleh dilanggar, yaitu sebagai berikut :
• Stabilitas nasional yang dinamis.
• Larangan terhadap ideologi komunisme, marxisme, dan leninisme.
• Mencegah berkembangnya paham liberal larangan terhadap pandangan ekstrim yang dapat mengelisahkan kehidupan masyarakat.

Mengapa Pancasila dianggap sakti hingga harus dilestarikan?

Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa, pedoman hidup, dan petunjuk hidup. Mengapa kita sebagai warga negara Indonesia mau menjadikan Pancasila sebagai pandangan hidup? Padahal Pancasila bukanlah sebuah kitab, bukanlah sebuah barang yang memiliki kekuatan luar biasa atau hipnotis, tetapi kita bisa terpengaruh untuk menjalankan aktivitas hidup di dalam segala bidang mengikuti apa yang terkandung dalam Pancasila. Bukankah itu berarti Pancasila itu sakti? Ya, kita sebagai warga negara Indonesia menganggap Pancasila sakti sampai-sampai setiap tanggal 1 Oktober dianggap sebagai Hari Kesaktian Pancasila.
Lalu mengapa setiap tanggal 1 Oktober dianggap sebagai Hari Kesaktian Pancasila? Ini dikarenakan peristiwa pada tanggal 30 September 1965 yang merupakan awal dari Gerakan 30 September (G30SPKI). Oleh pemerintah Indonesia, pemberontakan ini merupakan wujud usaha mengubah unsur Pancasila yang merupakan dasar Negara Indonesia menjadi ideologi komunis. Hari itu, enam orang Jendral dan berberapa orang lainnya dibunuh sebagai upaya kudeta. Namun berkat kesadaran untuk mempertahankan Pancasila maka upaya tersebut mengalami kegagalan. Maka 30 September diperingati sebagai Hari Peringatan Gerakan 30 September dan tanggal 1 Oktober ditetapkan sebagai Hari Kesaktian pancasila.
Betapa saktinya Pancasila, Pancasila yang hanya terdiri dari lima kalimat atau lebih tepatnya terdiri dari lima sila bisa sangat berpengaruh dan ampuh untuk menyadarkan para pemberontak Gerakan 30 September (G30SPKI) dan juga berpengaruh terhadap kehidupan kita sehingga kita bisa menjalankan kehidupan kita dengan lebih baik. Selain itu di dalam kelima sila tersebut, memiliki kandungan yang sangat banyak dan bermanfaat yang bisa kita jadikan pedoman untuk bersama-sama mewujudkan cita-cita Bangsa Indonesia sehingga terciptalah Indonesia yang aman dan makmur.
Untuk itu kita sebagai warga negara Indonesia yang baik harus mengamalkan dan melestarikan nilai-nilai yang terkandung dari setiap sila yang ada pada Pancasila, agar kita bersama-sama bisa cepat mewujudkan cita-cita Bangsa Indonesia dan terwujudnya cita-cita tersebut berlangsung lama.