Kegiatan bisnis (usaha) dalam kacamata Islam,
bukanlah kegiatan yang boleh dilakukan dengan serampangan dan sesuka hati.
Islam memberikan rambu-rambu pedoman dalam melakukan kegiatan usaha, mengingat
pentingnya masalah ini juga mengingat banyaknya manusia yang tergelincir dalam
perkara bisnis ini. Faktanya terdapat ancaman keras bagi pelaku bisnis yang
tidak mempedulikan etika, tetapi juga janji berupa keutamaan yang besar bagi
mereka yang benar-benar menjaga dirinya dari hal-hal yang diharamkan.
Pembahasaan mengenai prinsip Islam dalam dunia usaha
tentunya sangatlah panjang, tetapi dalam bahasan singkat ini kita bisa mendapat
gambaran tentang garis besar tentang prinsip-prinsip moral yang harus dipegang
teguh oleh seorang pebisnis Muslim.
1. Niat yang Ikhlas.
Keikhlasan adalah perkara yang amat menentukan.
Dengan niat yang ikhlas, semua bentuk pekerjaan yang berbentuk kebiasaan bisa
bernilai ibadah. Dengan kita lain aktivitas usaha yang kita lakukan bukan
semata-mata urusan harta an perut tapi berkaitan erat dengan urusan akhirat.
Allah I telah menegaskan bahwa hakekatnya tujuan
manusia diciptakan di muka bumi adalah untuk beribadah kepadaNya “ Dan tidaklah
Aku ciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepaKu”(QS Adz Dzariyat
ayat 56), maka tentunya semua aktivitas kita di dunia tidak lepas dari tujuan
itu pula. Rasulullah e bersabda “ Sesungguhnya amalan itu dengan niatnya
….”(Shahih Targhib wa Tarhib No.10)
Contoh niat yang ikhlas dalam usaha bisa berlaku
dlam lingkup pribadi maupun sosial. Dalam lingkup pribadi misalnya meniatkan
usaha yang halal untuk menjaga diri dari memakan harta dengan cara haram, memelihara
diri dari sikap meminta-minta, untuk mendukung kesempurnaan ibadah kepada Allah
I, menjaga silaturrahim dan hubungan kerabat dan motivasi positif lainya
Dalam lingkup sosial, misalnya meniatkan diri
mencari harta untuk ikut andil dalam memenuhi kebutuhan masyarakat muslim,
memberi kesempatan bekerja yang halal bagi orang lain, membebaskan ummat dari
ketergantungan terhadap produk “orang lain”, dan motif sosial lainnya.
Niat-seperti diaktakan sebagian orang-adalah
bisnisnya para ulama. Karena pahala dari suatu perbuatan bisa bertambah
berkali-kali lipat jika didasari dengan niat yang ikhlas.
2. Akhlaq yang Mulia
Menjaga sikap dan perilaku dalam berbisnis adalh
prinsip penting bagi seorang pebisnis muslim. Ini karena Islam sangat
menekankan perilaku (aklhaq) yang baik dalam setiap kesempatan, termasuk dala
berbisnis. Sebagaimana sabda Rasulullah e “….dan pergaulilah manusia dengan
akhlaq yang baik” (Sahihul Jami’ No 97).
Akhlaq mulia dalam berbisnis ditekankan oleh
Rasulullah e dalam sabdanya “Seorang pedagang yang jujur dan dapat dipercaya
akan dikumpulkan bersama para nabi para shiddiq dan oarang-orang yang mati
syahid. Dalam kesempatan lain Rasulullah e bersabda “Semoga Allah memberi
rahmatNya kepada orang yang suka memberi kelonggaran kepada orang lain ketika
menjual, membeli atau menagih hutang” (Shahih Bukhari No.2076). Di antara
akhlaq mulia dalam berbisnis adalah menepati janji, jujur, memenuhi hak orang
lain, bersikap toleran dan suka memberi kelonggaran.
Seorang pebisnis muslim tentunya tidak ingin jika
darah dagingnya tumbuh dari barang haram, ia pun tak ingin memberi makan
kelauraganya dari sumber yang haram karena kan sungguh berat konsekuensinya di
akhirat nanti. Dengan begitu, ia akan selalu berhati-hati dan berusaha melakuan
usaha sebatas yang dibolehkan oleh Allah I dan RasulNya.
Rasulullah e bersabda : “Setiap daging yang tumbuh
dari barang haram maka neraka lebih berhak baginya” (Shahihul Jami’ No. 4519)
4. Menunaikan Hak
Seorang pebisnis muslim selayaknya bersegera dalam
menunaikan haknya, seprti hak aryawannya mendapat gaji, tidak menunda
pembayaran tanggungan atau hutang, dan yang terpenting adalah hak Allah I dalam
soal harta seperti membayar zakat yang wajib. Juga, hak-hak orang lain dalam
perjanjian yang telah disepakati.
Dalil yang menunjukkan hal ini adalh peringatan
Rasulullah e kepada oarang mampu yang menunda pembayaran hutangnya “Orang kaya
yang memperlambat pembayaran hutang adalah kezaliman” (HR Bukhari, Muslim dan
Malik)
Seorang muslim tentu meyakini bahwa riba termasuk
dosa besar, yang sangat keras ancamannya. Maka pebisnis muslim akan berusaha
keras untuk tidak terlibat sedikitpun dalam kegiatan usaha yang mengandung
unsur riba. Ini mengingat ancaman terhadap riba bukan hanya kepada pemakannya
tetapi juga pemberi, pencatat, atau saksi sekalipun disebutkan dalam hadits
Jabir bin Abdillah bahwa Rasulullah e melaknat mereka semuanya dan menegaskan
bahwa mereka semua sama saja (Shahih Muslim No. 1598)
6. Tidak memakan harta orang lain dengan cara bathil
Tidak halal bagi seorang muslim untuk mengambil
harta orang lain secara tidak sah. Allah I dengan tegas telah melarang hal ini
dalam kitabNya. Ini meliputi segala kegiatan yang dapat menimbulkan kerugian
bagi orang lain yang menjadi rekakan bisnisnya, baik itu dengan cara riba,
judi, kamuflase harga, menyembunyikan cacat barang atau produk, menimbun,
menyuap, bersumpah palsu, dan sebagainya. Orang yang memakan harta orang lain
dengan cara tidak sah berarti telah berbuat dhalim (aniaya) terhadap orang
lain. Allah I berfirman: ”Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta
sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan kamu membawa
harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda
orang lain itu dengan dosa, padahal kamu mengetahui”.(QS Al Baqarah 188)
Seorang pebisnis muslim tidak akan membiarkan
dirinya terkena sanksi hukuman undang-undang hukum positif yang berlaku di
tenagh masyarakat. Misalnya dalam hal pajak, rekening membenahi sistem
akuntansi agar tidak terkena sangsi karena melanggar hukum. Hal itu
dilakukannya bukan untuk menetapkan adanya hak membyuat hukum ekpada manusia,
tetapi semata-mata untuk mengokohkan kewajiban yang diberikan Allah I padanya
dan mencegah terjadinya keruskan yang mungkin timbul
8. Tidak membahayakan/merugikan orang lain
Rasulullah e telah memberikan kaidah penting dalam mencegah hal-hal yang membahayakan, dengan sabdanya “ Tidak dihalalkan melakukan bahaya atau hal yang membahayakan orang lain (Irwa’ul Ghalil No 2175)”. Termasuk katagori membahayakan orang lain adalah menjual barang yang mengancam kesehatan orang lain seperti obat-obatan terlarang, narkotika, makanan yang kedaluwarsa. Atau melakukan hal yang membahayakan pesaingnya dan berpotensi menghancurkan usaha pesaingnya, seperti menjelek-jelekkan pesaing, memonopoli, menawar barang yang masih dalam proses tawar-menawar oleh orang lain. Seorang pebisnis muslim hendaknya bersikap fair dalam berkompetisi, dan tidak melakukan usaha yang mengundang bahaya bagi dirinya maupun orang lain.
9. Loyal terhadap orang beriman
Pebisnis muslim sekaliber apapun tetaplah bagian
dari umat Islam. Sehingga sudah selayaknya ia melakukan hal-hal yang membantu
kokohnya pilar-pilar masyarakat Islam dalam skala interasional, regional maupun
lokal. Tidak sepantasnya ia bekerjasama dengan pihak yang nyata-nyata
menampakkan permusuhannya terhadap umat Islam. Ini merupakan bagian dari
prinsip Al Wala’ (Loyalitas) dan Al Bara’ (berlepas diri) yang merupakan bagian
dari aqidah Islam. Sehingga ketika melaksanakan usahanya, seorang muslim tetap
akan mengutamakan kemaslahatan bagi kaum muslimin dimanapun ia berada. Allah I berfirman
: “Janganlah orang-orang mu’min mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan
meninggalkan orang-orang mu’min. Barang siapa berbuat demikian, niscaya
lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena memelihara diri dari sesuatu
yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri -Nya.
Dan hanya kepada Allah kembali.” (QS Ali Imran 28)
10. Mempelajari hukum dan adab mu’amalah islam
Dunia bisnis yang merupakan interaksi antara
berbagai tipe manusia sangat berpotensi menjerumuskan para pelakunya ke dalam
hal-hal yang diharamkan. Baik karena didesak oleh kebutuhan perut, diajak
bersekongkol dengan orang lain secara tidak sah atau karena ketatnya persaingan
yang membuat dia melakukan hal-hal yang terlarang dalam agama. Karena itulah
seorang Muslim yang hendak terjun di dunia ini harus memahami hukum-hukum dan
aturan Islam yang mengatur tentang mu’amalah. Sehingga ia bisa memilah yang
halal dari yang haram, atau mengambil keputusan pada hal-hal yang tampak samar
(syubhat).
Mengingat pentingnya mempelajari hukum-hukum jual
beli inilah, Khalifah Umar bin Khatab mengeluarkan dari pasar orang-orang yang
tidak paham hukum jual beli.
Judul Buku : Fiqih Ekonomi Keuangan Islam,
Penulis : Prof. Dr. Shalah Ash Shawi dan Prof. Dr. Abdullah Al Muslih,
Penerbit : Darul Haq, Jakarta.
Referensi :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar